Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya.
Seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan
tubuh di lantai depan televisi. Kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar
aku tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan
membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai.
"Aaauww ... brengsek!"
gumamku tiba-tiba. Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga tampak
titik hitam terjatuh ke lantai. Ternyata seekor semut hitam.
"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini
seperti mau hancur? Apa dia juga tidak tahu kalau aku sedang
beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku. Tapi, belum
sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "Addduuhhh!"
Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan
gigitannyapun lebih sakit.”Heeeh, berani sekali makhluk kecil ini,"
gerutuku kesal.
Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan
ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun sebelum
tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti
menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang
dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena
kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya
aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti
memahami apa yang diucapkannya.
"Hey makhluk besar, anda
menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini
untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karena aku
menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku menindihnya sehingga
ia harus terpaksa menggigitku.
Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan
perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah
payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat
kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia
berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya sembari
membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya.
Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin
tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan
bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia
pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es sebelah
dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu
dan kulihat seolah ia sedang memanggil–manggil semut-semut di dalam lubang itu.
Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima
semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu
berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut
pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti
keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti, menciumnya,
memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut
pembawa makanan itu.
Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu
adalah kepala keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut.
Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah anak - anaknya sementara satu semut
lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit.
"Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku.
Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih
sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum
setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan
pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya.
Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih
dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang
dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat
ayah ibunya bangga.
Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk
.... aku tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut
itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan
wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai
ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa
makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang
aku terima.
Air mataku makin deras mengalir
membasahi pipi, semakin terbayang tangisan-tangisan anak–anak dan istri
semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang mereka
dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah.
Ya, Allah ... keluarga semut itu telah
mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga
diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai
keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan,
tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.
Hari-hari selanjutnya, ketika hendak
merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan
apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk
mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga
kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir,
lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat
memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik
bagi mereka.