Ada sebuah fenomena
yang sering terjadi, yaitu orang tua yang begitu mengekang kebebasan anak,
walaupun memang di mata kita, para orang tua, adalah baik maksudnya. Tapi
apakah anak-anak dapat menangkap pesan atau maksud baik tersebut? Bisa jadi
mereka masih teramat kecil untuk dapat mengerti.
Contoh sederhana, kita sering mendapati
anak berlari ke sana
ke mari hingga kurang memerdulikan keselamatan mereka sendiri. Kita sebagai
orang tua akan merasa "ngeri" kalau-kalau terjadi hal yang tidak
diinginkan, seperti jatuh, menabrak benda keras, dan lain sebagainya, yang
dapat membahayakan keselamatan sang anak. Melihat kondisi anak seperti itu
(suka berlari-lari), biasanya kita sebagai orang tua akan langsung
menasehatinya, atau melarangnya, bahkan memarahinya.
Andaikan akhirnya anak Anda yang sedang
berlari-lari tersebut jatuh, padahal sebelumnya sudah berbusa mulut Anda
menasehatinya agar jangan berlari-larian, apa yang akan Anda lakukan?
Menurut pengalaman saya pribadi ada dua
perlakuan yang umum dilakukan oleh para orang tua.
Pertama, respon refleks umumnya orang
tua adalah langsung memarahi anak akibat tidak mau mendengar perkataan mereka.
Kalau pun tidak memarahinya, mereka melakukannya dengan cara lain yakni
mengingatkannya dengan nada tinggi. Mungkin kira-kira begini,
"Tuh kan
apa Ibu/Ayah bilang! Jangan lari-lari...jadi jatuh, kan! Anak bandel, tidak mau mendengar
kata-kata orang tua! Huh!"
Kondisi yang lebih ekstrem yang lain
adalah berkata atau membentak dan terkadang dibarengi dengan kekerasan tangan
(memukulnya), hingga anak pun menangis karenanya. Kemungkinan besar sang anak
menangis bukan akibat dari jatuhnya, melainkan karena bentakan atau pukulan
orang tua.
Kedua, berusaha untuk tampil empati
tapi tetap memarahi atau membentaknya. Misalnya dengan perkataan sebagai
berikut,
"Aduh adik jatuh, ya! Sakit?
Makanya apa Mama/Papa bilang. Nggak mau dengar sih perkataan Mama/Papa. Jadi
begini akibatnya! Makanya lain kali dengar kata-kata Mama, ya!" dengan
suara yang cenderung datar tanpa intonasi tinggi.
Ungkapan kondisi pertama adalah bentuk
contoh "judgement" (penghukuman). Artinya, anak langsung diberi
hukuman akan tindakan pelanggaran yang dilakukannya (karena tidak mendengar
perkataan orang tuanya). Sedangkan, ungkapan kondisi kedua adalah bentuk contoh
"semi judgement dan empati". Kondisi ini agak lebih baik, tapi tetap
dapat meninggalkan kesan kejadian berulang pada anak. Maksudnya adalah anak
kemungkinan besar akan melakukan perlakuan yang sama yang dilakukan oleh orang
tua kepada dirinya, terhadap situasi serupa yang dihadapinya dengan orang lain.
Sekarang coba Anda bayangkan (dari
hasil perlakuan kondisi pertama dan kedua di atas) bila sang anak memiliki
seorang adik, dan ternyata adiknya melakukan tindakan yang persis dilakukannya,
yakni berlari-larian. Sang anak akan mengingatkan si adik untuk jangan
berlari-larian, dengan cara persis seperti yang dilakukan orang tua terhadap
dirinya. Kira-kira berdasarkan pengalaman sebelumnya, perlakuan apa yang akan
dilakukan sang kakak terhadap adiknya?
Seorang anak adalah perekam yang
sangat kuat. Anak memiliki kemampuan photo-memory yang sangat tinggi. Bila kita
mengharapkan seorang anak yang memiliki sifat dan sikap empati yang tinggi,
maka seyogyanya dilatih sejak dini. Jadi, bila kita
berharap sang anak bersikap empati apabila melihat adiknya terjatuh, maka kita
diharapkan untuk bertindak serupa terhadap dirinya.
Kisah di atas akan lain ceritanya bila
sang ayah atau ibu bersikap empati terlebih dahulu ketika mendapati anaknya
terjatuh, bukan langsung melakukan "judgement" terhadap dirinya.
Contohnya adalah dengan mengatakan, "Aduh ... adik jatuh ya! Sakit? Mana
yang sakit? Sini ayah/ibu obati," sambil memberikan perhatian terhadap
lukanya, jikalau perlu mengobatinya. Baru kemudian setelah selesai mengobati
kita dapat menasehatinya, "Makanya,
lain kali lebih hati-hati ya! Tolong dengarkan apa kata ayah/ibu ... Adik mau
janji?"