Kamu tau kenapa saya suka wanita itu
pakai jilbab? Jawabannya sederhana, karena mata saya susah diajak kompromi.
Bisa dibayangkan bagaimana saya harus mengontrol mata saya ini mulai dari
keluar pintu rumah sampai kembali masuk rumah lagi. Dan kamu tau? Di kampus
tempat saya seharian disana, kemana arah mata memandang selalu saja membuat
mata saya terbelalak. Hanya dua arah yang bisa membuat saya tenang, mendongak
ke atas langit atau menunduk ke bawah tanah.
Melihat kedepan ada perempuan
berlenggok dengan seutas "Tank Top", noleh ke kiri pemandangan
"Pinggul terbuka", menghindar kekanan ada sajian "Celana ketat
plus You Can See", balik ke belakang dihadang oleh "Dada
menantang!" Astaghfirullahal 'Adhim, Astaghfirullohal 'Adhim... kemana …,
ke mana lagi mata ini harus memandang …?
Kalau saya berbicara nafsu, ow jelas sekali saya suka. Kurang merangsang itu
mah! Tapi sayang, saya tak ingin hidup ini dibaluti oleh nafsu. Saya juga butuh
hidup dengan pemandangan yang membuat saya tenang. Saya ingin melihat wanita
bukan sebagai objek pemuas mata. Tapi mereka adalah sosok yang anggun
mempesona, kalau dipandang bikin sejuk di mata. Bukan paras yang membikin mata
panas, membuat iman lepas ditarik oleh pikiran "forno" dan
hatipun menjadi keras.
Andai wanita itu mengerti apa yang
sedang dipikirkan oleh laki-laki ketika melihat mereka berpakaian seksi, saya
yakin mereka tak mau tampil seperti itu lagi. Kecuali bagi mereka yang memang berniat
untuk menarik lelaki agar memakai aset berharga yang mereka punya.
Istilah seksi kalau boleh saya definisikan
berdasar kata dasarnya adalah penuh daya tarik seks. Kalau ada wanita yang
dibilang seksi oleh para lelaki, janganlah berbangga hati dulu. Sebagai seorang
manusia yang punya fitrah dihormati dan dihargai semestinya anda malu, karena
penampilan seksi itu sudah membuat mata lelaki menelanjangi anda, membayangkan
anda adalah objek syahwat dalam alam pikirannya. Berharap anda melakukan lebih
seksi, lebih... dan lebih lagi. Dan anda tau apa kesimpulan yang ada dalam
benak sang lelaki ? Yaitunya: anda bisa diajak untuk begini dan begitu alias
gampangan !
Mau tidak mau, sengaja ataupun tidak,
anda sudah membuat diri anda tidak dihargai dan dihormati oleh penampilan anda
sendiri yang anda sajikan pada lelaki. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada
diri anda, baik dengan kata-kata yang nyeleneh, pelecehan seksual atau mungkin
sampai pada perkosaan. Siapa yang semestinya disalahkan? Saya yakin anda
menjawabnya lelaki bukan? Oh betapa tersiksanya menjadi seorang lelaki dijaman
sekarang.
Kalau boleh saya ibaratkan, tak ada
pembeli kalau tidak ada yang jual. Simpel saja, orang pasti akan beli kalau ada
yang nawarin. Apalagi barang bagus itu gratis, wah pasti semua orang akan
berebut untuk menerima. Nah apa bedanya dengan anda menawarkan penampilan seksi
anda pada khalaik ramai, saya yakin siapa yang melihat ingin mencicipinya.
Begitulah seharian tadi saya harus
menahan penyiksaan pada mata ini. Bukan pada hari ini saja, rata-rata setiap
harinya. Saya ingin protes, tapi mau protes ke mana? Apakah saya harus
menikmatinya? tapi saya sungguh takut dengan Dzat yang memberi mata ini.
Bagaimana nanti saya mempertanggungjawabkan nanti? Sungguh saya miris dengan
iman saya.
Allah Taala telah berfirman: "Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya", yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada wanita beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya." (QS. An-Nuur : 30-31 ).
Jadi tak salah bukan kalau saya sering
berdiam di ruangan kecil ini, duduk di depan komputer menyerap sekian juta
elektron yang terpancar dari monitor, saya hanya ingin menahan pandangan mata
ini. Biarlah mata saya ini rusak oleh radiasi monitor, daripada saya tak bisa
pertanggung jawabkan nantinya. Jadi tak salah juga bukan ? kalau saya paling
malas diajak ke mall, kafe, dan semacam tempat yang selalu menyajikan
keseksian.
Saya yakin, banyak laki-laki yang punya
dilema seperti saya ini. Mungkin ada yang menikmati, tetapi sebagian besar ada
yang takut dan bingung harus berbuat apa. Bagi anda para wanita apakah akan
selalu bahkan semakin menyiksa kami sampai kami tak mampu lagi memikirkan mana
yang baik dan mana yang buruk. Kemudian terpaksa mengambil kesimpulan menikmati
pemadangan yang anda tayangkan ? So, berjilbablah ... karena itu sungguh
nyaman, tentram, anggun, cantik, mempersona dan tentunya sejuk di hati dan
menyejukkan mata.
Tetaplah Engkau Seperti Yang Dulu, Pak !
Oleh Azimah
Rahayu
Laki-laki itu. Tak
satu pun pedagang dan peminta sumbangan yang melewatkan mejanya. Karena jika
mereka menghampirinya, pasti akan ada sesuatu yang mereka terima. Tak pernah
mereka pergi dengan tangan kosong. Seorang gadis kecil berjilbab, kulihat
sering berkunjung dan keluar dari ruangannya menggenggam amplop.
Laki-laki itu. Adalah biasa baginya makan rujak dari bungkus yang
sama dengan anak buahnya. Tak pernah menjadi masalah baginya bertanya,”Ada yang bawa
kue/oleh-oleh, ya?“ dan kemudian mencomotnya. Sebagaimana tak masalah pula
ketika para staf meminta dibelikan rujak atau makanan. Lembaran rupiah pun
dengan ringan melayang.
Laki-laki itu. Ruang kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada
istilah ruangannya adalah tempat istimewa yang tak boleh dijamah siapa pun. Tak
ada kesan kebirokratisan sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan.
Hingga semua fasilitas di sana
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh anak buah: komputer, telepon,
internet, bahkan bangku tamu pun dapat dijadikan tempat rapat, atau sekedar
istirahat.
Laki-laki itu. Berbincang dan bercanda adalah salah satu
kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya
tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana
untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja
-dari pejabat hingga office boy- tanpa harus kehilangan wibawa.
Laki-laki itu. Adalah kebetulan aku sedikit mengenal keluarganya.
Dan karenanya aku tahu bagaimana rumahnya menjadi tempat berlabuh bagi banyak
orang. Dan karenanya aku tahu, bahwa ia adalah seorang yang ringan tangan,
ringan hati dan dermawan terhadap sesama. Pertama kali aku mengunjungi tempat
tinggalnya, aku sempat terpana: rumah itu terlalu sederhana untuk seorang ia.
Namun toh, rumah itu telah pernah menjadi tempat singgah begitu banyak jiwa.
Laki-laki itu. Berbincang dari hati ke hati dengannya bukan sekali
dua kali saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya sekitar 6 tahun
yang lalu, saat ia menjadi pejabat level paling bawah di kantorku, ia sudah
menjadi seseorang yang cukup dekat denganku, termasuk dengan staf-staf lain
tentunya. Kedekatan dan keakraban itu bahkan hingga taraf konsultasi kehidupan
pribadi. Bahkan pernah ada saat-saat ia membuatku menangis dengan menanyakan hal-hal
yang terkait dengan kehidupan pribadi. Dan sejak itu, ia terus menjadi salah
satu bagian hidupku di dunia kantor.
Laki-laki itu. Postur tubuhnya ideal. Gerak geriknya gesit. Usianya
belum lagi 40 tahun meski rambutnya nyaris telah memutih semua, (mungkin)
karena banyak berpikir keras. Dalam 6 tahun itu, karirnya terus menanjak, sedang
banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku.
Dalam enam tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh banyak pihak dan
kemudian menjadi seseorang yang terpercaya.
“Nduk! Piye kabarmu sak wise kawin?” Laki-laki itu dengan to the
point menyampaikan pertanyaan itu begitu aku duduk di depan mejanya.
Beberapa saat sebelumnya, ia melambaikan tangan memanggilku ketika aku lewat,
meski aku bukan lagi anak buahnya. Panjang lebar, aku becerita tentang kondisi
terakhirku setelah sebulan menikah. Dan dari lisannya kemudian mengalir
nasehat-nasehat panjang tentang pernak-pernik pernikahan yang kudengar
baik-baik meski sekali-kali kami timpali dengan canda. Itulah saat terakhir aku
berbincang cukup banyak dengannya.
Kemarin, ia dilantik menjadi kepala di biro tempatku bekerja, hanya
setingkat lebih rendah dari orang nomor satu di instansi kami. Syukur dan
selamat tak lupa terlantun dari bibir ini. Namun dalam benak, terlintas tanya:
Masihkah nanti ia akan melambaikan tangan menyuruhku masuk ke ruangannya dan
berbincang panjang lebar tentang pekerjaan hingga permasalahan pribadi?
Masihkah ia akan dengan santai makan kue bersama kami? Masihkah ia bercanda
ceplas-ceplos bersama para anak buahnya?
Dan tulisan ini menjadi perantara pesan itu: tetaplah Engkau seperti
yang dulu, Pak! Aku masih ingin melihatmu menerima gadis kecil itu. Aku masih
ingin makan rujak bersamamu dari bungkus yang sama. Aku masih ingin engkau
memanggilku dan bertanya: “Piye kabarmu, Nduk?” Aku masih ingin mendengar
cerita tentang jagoan kecilmu yang makin pintar. Aku masih ingin....Engkau
seperti yang dulu! Kami membutuhkan pemimpinmu, pak.